Postingan

PEMIKIRAN KUNO “PEREMPUAN TIDAK PERLU SEKOLAH TINGGI-TINGGI” MENGHAMBAT KESEJAHTERAAN NEGARA

Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, ujungnya hanya ke sumur, dapur, kasur.         Sebuah ungkapan yang terdengar sangat lumrah bagi telinga perempuan. Persepsi yang dituturkan turun temurun ini tak melihat jaman dan mengabaikan pentingnya perkembangan ilmu pengetahuan, yang padahal misi pendidikan Indonesia pun untuk menyamaratakan pendidikan di seluruh wilayah yang ada di bumi nusantara. Dan hak dasar bagi seluruh warga negara Indonesia pun salah satunya adalah akses pendidikan, tentunya baik bagi laki-laki dan perempuan. Dimana hak mendapat pendidikan ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, “ Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan ”. Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keenam belas di dunia, dengan populasi perempuan yang terdiri dari hampir setengah dari populasi negara Indonesia, yang berdasarkan sensus Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal, Badan Pusat Statistik dan United Nations Pop

Gadis Nirmala

I. Diujung waktu senja, bertemulah gadis pada sepasang belati yang membayang. Tajam menusuknya bukan sampai ke tulang belakang, tapi tertancap pada kepercayaannya. Pekat arus kecewa menghanyutkan kesucian cintanya. Lirih suara rintih tak cukup menyamarkan. Baskara pun tak enggan menenggelamkan gulita padanya. Semakin padam sudah angan-angan. Semakin  mengakar, semakin menggerogoti, bengis! Musnah jiwa gadis nirmala. Mau bagaimana? Selamatkan?  II. Tidak usah. Jiwa itu tidak mati! Nyatanya kokoh merengkuh untuk berdiri. Keteguhan nurani ialah yang menjujung pada diri. Beranjaklah gadis pada si Penguasa Insan tertunduk meratapi. Tangan suci penuh khidmat, memerdekakan doa, membalut luka hingga sanubari. III.  Sampai fajar memayungi, yakinlah jiwa nirmala, ada yang lebih bengis daripada ini.  Kehilangan Tuhan.  IV. Hingga jantung, hati, dan segala isi dikoyak pun jiwamu akan tetap perkasa. Tidak dengan kehilangan Tuhan. Sudah, Belati itu takkan membayang lagi. Tuhan tidak

Aku si Hipokrit

Perkenalkan, aku si hipokrit. Dan lihat, kain hijabku terurai panjang menutupi tubuh mengikuti anjuran islam, dan sebagaimana perintah ibu. Status sosmedku, tulisan-tulisanku begitu islamiah seperti mengisyaratkan religiositasku amat tinggi. Tak lupa wejangan-wejangan, mulus aku berikan pada si pelaku kefasikan. Tuturan seperti yang mengiyakan akulah yang benar!  Padahal diam-diam? dengki, angkuh, iri, bertunas dalam hati.  Jelaslah aku si pendosa lugu itu. Hipokrit, bukan? Shalat, puasa, zakat, ibadah-ibadah lainnya aku lakukan tanpa dulu mencari tahu. Intinya, " Ah yang pentingkan sudah aku kerjakan ". Melahap ilmu agama pun tinggal aaammm ammm amm tanpa mencari tahu apa yang sedang/akan dicerna. Atau pun sekedar bertanya, apa itu? Kenapa? Bagaimana? " Sudahlah, makan saja itu halal, dan yang itu haram ".  Dogmatis. Sok tahulah aku, " Barang siapa, barang siapa !" sesedap hati. Tempo ditanya, " Darimana kau tahu? " Layaknya boca

Listen & Obey

... "mungkin sebetulnya kita butuh penafsiran objektif dari orang-orang diluar para mufassir " "Gak ada yang lebih kredibel menjelaskan kitab suci selain ahli tafsir, gak butuh pihak luar buat menafsirkan hukum alquran. Apalagi orang awam seperti kita" "Ternyata kamu lebih dogmatis ya." "Tidak. Aku hanya berusaha untuk listen & obey. Semuanya telah diatur dalam islam. Kita cukup mendengarkan dan patuh. Menjalankan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarang, simpel" "Itulah akar dari permasalahan umat ini. Kepatuhan membuat mereka buta, tertutup, dan dogmatis."* "Kamu tahu apa masalahmu? Kamu berpikir dengan emosi. Entah kamu sadar atau tidak, tapi berulangkali kamu menyebutkan diskriminasi kaum perempuan. Mungkin dugaanku kamu terobsesi dengan kejadian tragis jaman dulu."  Sebenarnya aku sudah bosan bahas feminis hhe dan jelas aku juga gak menyuarakan feminisme adalah ajaran yang seluruhnya sa

Hey, tujuan akhirku

Perihal rasa yang pelik,  Rindu yang dijaga Dan asa yang tak padam.   Hai kau, tujuan akhirku dalam memantaskan diri. Apa kabar? Kau tau? Ingin rasanya aku sediakan tempat duduk disampingku,  hingga akan seksama dan lekat-lekat ku pandang wajahmu seraya bertanya, " Bagaimana hari-harimu? Pasti menyenangkan bukan? Lancarkah praktikum dan tugas-tugas studimu? Cukup beratkah pekerjaan yang sedang kau jalani? " Agar selalu dimuluskan segala urusanmu, tak henti ku lafalkan munajat untukmu padaNya.  Kau tau? Sebenarnya kita sedang dalam satu pertarungan yang sama. Namun dalam arena yang berbeda. Aku dan kau sama-sama membentengi hati sampai waktu berakhir dan kita dipersatukan. Sebagai manusia, banyak godaan yang aku lalui. Mulai dari teman-temanku dengan pasangan mereka, menonton, makan, dan pulang bersama. Sekilas aku iri, sedangkan aku harus bersabar menunggumu. Tapi kita tak perlu menjelaskan kepada mereka apa yang sedang kita perjuangkan.

BIBLIOTERAPI DALAM FILM DILAN 1990

     Merujuk pada survei Perpustakaan Nasional RI dalam (tempo.co) mencatat 90 persen penduduk Indonesia yang berusia diatas 10 tahun (dapat disebut remaja keatas) lebih gemar menonton dibanding dengan membaca buku. Dapat diartikan bahwa sebagian besar orang Indonesia lebih mudah menyerap suatu informasi jika berbentuk tayangan visual. Masuk keranah biblioterapi, Hugh Crago (Peter Hunt, 2005: 180) dalam Masril, (2011) mengemukakan bahwa “ Bibliotherapy adalah salah satu dari berbagai metode untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan emosional. Bibliotherapy merupakan modalitas teraupatik (seperti juga dalam terapi seni, terapi okupasi, atau terapi dansa yang dikembangkan khusus untuk memenuhi kebutuhan pasien yang dianggap seluruhnya atau sebagian di luar jangkauan metode psikoterapi utama), namun harus realistis. Bibliotherapy ini mencakup teks bukan buku seperti bercerita dan melihat narasi visual seperti film dan gambar, termasuk studi sastra yang sudah diterima oleh m